/* Coin Slider jQuery plugin CSS styles http://workshop.rs/projects/coin-slider */ .coin-slider { overflow: hidden; zoom: 1; position: relative; }

Halaman

Sabtu, 22 Desember 2012

ASKEP BPH

Pengertian Benign Prostatic Hyperplasia

Benign Prostatic Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo, 1994 : 193).

Etiologi/Penyebabnya
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya Benign Prostatic Hyperplasia antara lain :
1.         Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.
2.         Ketidak seimbangan estrogen – testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.
3.         Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.
4.         Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5.         Teori stem cell
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
(Roger Kirby, 1994 : 38).

Anatomi Dan Fisiologi Prostat
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari :
·           Jaringan Kelenjar ®        50  -  70   %
·           Jaringan Stroma (penyangga) 30 - 50 %
·           Kapsul/Musculer 30 - 50 %
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel – sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.
baca selengkapnya klik disini dan download klik disini

Jumat, 21 Desember 2012

ASKEP EPILEPSI

2.1. Definisi Epilepsi

Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
2.2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ”embrio” epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.

Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th)
Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme
2.3. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
Baca selengkapnya dan Untuk download klik disini disini

ASKEP TUBERCULOSIS PARU (TBC)


TUBERCULOSIS PARU

1.             Pengertian

Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis yang hampir seluruh organ tubuh dapat terserang olehnya, tapi yang paling banyak adalah paru-paru (IPD, FK, UI).
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi ( Mansjoer , 1999).
2.              Etiologi

Etiologi Tuberculosis Paru adalah Mycobacterium Tuberculosis yang berbentuk batang dan Tahan asam ( Price , 1997 )
Penyebab Tuberculosis adalah M. Tuberculosis bentuk batang panjang 1 – 4 /mm
Dengan tebal 0,3 – 0,5 mm. selain itu juga kuman lain yang memberi infeksi yang sama yaitu M. Bovis, M. Kansasii, M. Intracellutare.
3.             Patofisiologi
Patofisiologi pneumonia selalu dimulai dari hilus paru yang menjalar secara progressif ke perifer sampai seluruh lobus terkena. Proses radang ini dapat kita bagi atas 4 tingkatan:

 1.      Patofisiologi Pneumonia – Tingkat kongesti

Lobus paru yang meradang tampak berwarna kemerah-merahan, membengkak pada perabaan mengandung banyak cairan dan pada irisan keluar cairan kemerah-merahan. Pada tingkat ini kapiler melebar dan kongestif, alveolus terisi oleh netrofil dan makrofag.

2.      Patofisiologi Pneumonia – Tingkat hepatisasi merah

Pada tingkat ini jumla,h netrofil bertambah, tampak pula sel-sel darah merah dalam alveoli. Eksudat berubah menjadi fibrinosa. Pada makroskopis paru-paru tampak lebih padat sehingga perabaannya menyerupai hati.
3.       Patofisiologi Pneumonia – Tingkat hepatisasi kelabu
Pada perabaan paru masih tetap kenyal seperti hepar, hanya warna kemerah-merahan berubah menjadi kelabu. Eksudat masih tetap terlihat bahkan dapat berubah menjadi nanah dan masuk ke pleura, pada mikroskopis sel-sel tampak amorf. Saat ini kuman sudah tidak dapat terdeteksi lagi dan makrofag lebih berperan dalam proses penyembuhan.
4.      Patofisiologi Pneumonia – Tingkat resolusi atau penyembuhan total

Selasa, 18 Desember 2012

ASKEP DIABETES MELITUS


ASKEP DIABETES MELITUS






DIABETES MELITUS
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
  • Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Silvia. Anderson Price, 1995)
  • Diabetes melitus adalah gangguan metabolik kronik yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol yang dikarakteristikan dengan ketidak ade kuatan penggunaan insulin (Barbara Engram; 1999, 532)
  • Diabetes melitus adalah suatu penyakit kronik yang komplek yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan berkembangnya komplikasi makro vaskuler, mikro vaskuler dan neurologis (Barbara C. Long, 1996).
2. Etiologi
Penyebab Diabetes Melitus berdasarkan klasifikasi menurut WHO tahun 1995 adalah :
a.    DM Tipe I (IDDM : DM tergantung insulin)
•    Faktor genetik / herediter
Faktor herediter menyebabkan timbulnya DM melalui kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau mempermudah perkembangan antibodi  autoimun melawan sel-sel beta, jadi mengarah pada penghancuran sel-sel beta.
•    Faktor infeksi virus
Berupa infeksi virus coxakie dan Gondogen yang merupakan pemicu yang menentukan proses autoimun pada individu yang peka secara genetik
b.    DM Tipe II (DM tidak tergantung insulin = NIDDM)
•    Terjadi paling sering pada orang dewasa, dimana terjadi obesitas pada individu obesitas dapat menurunkan jumlah resoptor insulin dari dalam sel target insulin diseluruh tubuh. Jadi membuat insulin yang tersedia kurang efektif dalam meningkatkan efek metabolik yang biasa.
c.    DM Malnutrisi
•    Fibro Calculous Pancreatic DM (FCPD)
Terjadi karena mengkonsumsi makanan rendah kalori dan rendah protein sehingga klasifikasi pangkreas melalui proses mekanik (Fibrosis) atau toksik (Cyanide) yang menyebabkan sel-sel beta menjadi rusak.
•    Protein Defisiensi Pancreatic Diabetes Melitus (PDPD)
Karena kekurangan protein yang kronik menyebabkan hipofungsi sel Beta pancreas
d.    DM Tipe Lain
•    Penyakit pankreas seperti : pancreatitis, Ca Pancreas dll
•    Penyakit hormonal
Seperti : Acromegali yang meningkat GH (growth hormon) yang merangsang sel-sel beta pankeras yang menyebabkan sel-sel ini hiperaktif dan rusak
•    Obat-obatan
-    Bersifat sitotoksin terhadap sel-sel  seperti aloxan dan streptozerin
-    Yang mengurangi produksi insulin seperti derifat thiazide, phenothiazine dll.
3. Manifestasi klinis
1. Poliuria
2. Polidipsi
3. Polipagia
4. Penurunan berat badan
5. Kelemahan, keletihan dan mengantuk
6. Malaise
7. Kesemutan pada ekstremitas
8. Infeksi kulit dan pruritus
9. Timbul gejala ketoasidosis & samnolen bila berat
4. Patofisiologi   WOC (terlampir)
5. Penatalaksanaan
Tujuannya :
a.    Jangka panjang    : mencegah komplikasi
b.    Jangka pendek    : menghilangkan keluhan/gejala DM
Penatalaksanaan DM
a.    Diet
Perhimpunan Diabetes Amerika dan Persatuan Dietetik Amerika Merekomendasikan = 50 – 60% kalori yang berasal dari :
•    Karbohidrat    60 – 70%
•    Protein    12 – 20 %
•    Lemak    20 – 30 %
b.    Latihan
Latihan dengan cara melawan tahanan dapat menambah laju metablisme istirahat, dapat menurunkan BB, stres dan menyegarkan tubuh.
Latihan menghindari kemungkinan trauma pada ekstremitas bawah, dan hindari latihan dalam udara yang sangat panas/dingin, serta pada saat pengendalian metabolik buruk.
Gunakan alas kaki yang tepat dan periksa kaki setiap hari sesudah melakukan latihan.
c.    Pemantauan
Pemantauan kadar Glukosa darah secara mandiri.
d.    Terapi (jika diperlukan)
e.    Pendidikan
(Brunner & Suddarth, 2002)
6.    Pemeriksaan Diagnostik
    Gula darah meningkat
Kriteria diagnostik WHO untuk DM pada dewasa yang tidak hamil :
Pada sedikitnya 2 x pemeriksaan :
a.    Glukosa plasma sewaktu/random > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b.    Glukosa plasma puasa/nuchter > 140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c.    Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial) > 200 mg/dl.
    Tes Toleransi Glukosa
Tes toleransi glukosa oral : pasien mengkonsumsi makanan tinggi kabohidrat (150 – 300 gr) selama 3 hari sebelum tes dilakukan, sesudah berpuasa pada malam hari keesokan harinya sampel darah diambil, kemudian karbohidrat sebanyak 75 gr diberikan pada pasien
(Brunner & Suddarth, 2003)
    Aseton plasma (keton)    : positif secara mencolok
    Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat
    Osmolaritas serum : meningkat, < 330 mosm/dl
    Elektrolit :
    Natrium    :     meningkat atau menurun
  Kalium    :    (normal) atau meningkat semu (pemindahan seluler) selanjutnya menurun.
    Fosfor    :    lebih sering meningkat
    Gas darah arteri : biasanya menunjukkan pH rendah dan Po menurun pada HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi alkolosis resperatorik.
    Trombosit darah : H+ mungkin meningkat (dehidrasi) ; leukositosis; hemokonsentrasi merupakan resnion terhadap sitosis atau infeksi.
    Ureum/kreatinin : meningkat atau normal (dehidrasi/menurun fungsi ginjal).
    Urine : gula dan aseton (+), berat jenis dan osmolaritas mungkin meningkat.
(Doengoes, 2000)
7.    Komplikasi
a.    Komplikasi metabolik
•    Ketoasidosis diabetik
•    HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik)
b.    Komplikasi
•    Mikrovaskular kronis (penyakit ginjal dan mata) dan Neuropati
•    Makrovaskular (MCl, Stroke, penyakit vaskular perifer).
(Brunner & Suddarth, 2002)
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a.    Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan utama gatal-gatal pada kulit yang disertai bisul/lalu tidak sembuh-sembuh, kesemutan/rasa berat, mata kabur, kelemahan tubuh. Disamping itu klien juga mengeluh poli urea, polidipsi, anorexia, mual dan muntah, BB menurun, diare kadang-kadang disertai nyeri perut, kramotot, gangguan tidur/istirahat, haus-haus, pusing-pusing/sakit kepala, kesulitan orgasme pada wanita dan masalah impoten pada pria.
b.    Riwayat Kesehatan Dahulu
o    Riwayat hipertensi/infark miocard akut dan diabetes gestasional
o    Riwayat ISK berulang
o    Penggunaan obat-obat seperti steroid, dimetik (tiazid), dilantin dan penoborbital.
o    Riwayat mengkonsumsi glukosa/karbohidrat berlebihan
c.    Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya riwayat anggota keluarga yang menderita DM.
d.    Pemeriksaan Fisik
o    Neuro sensori
Disorientasi, mengantuk, stupor/koma, gangguan memori, kekacauan mental, reflek tendon menurun, aktifitas kejang.
o    Kardiovaskuler
Takikardia / nadi menurun atau tidak ada, perubahan TD postural, hipertensi dysritmia, krekel, DVJ (GJK)
o    Pernafasan
Takipnoe pada keadaan istirahat/dengan aktifitas, sesak nafas, batuk dengan tanpa sputum purulent dan tergantung ada/tidaknya infeksi, panastesia/paralise otot pernafasan (jika kadar kalium menurun tajam), RR > 24 x/menit, nafas berbau aseton.
o    Gastro intestinal
Muntah, penurunan BB, kekakuan/distensi abdomen, aseitas, wajah meringis pada palpitasi, bising usus lemah/menurun.
o    Eliminasi
Urine encer, pucat, kuning, poliuria, urine berkabut, bau busuk, diare (bising usus hiper aktif).
o    Reproduksi/sexualitas
Rabbas vagina (jika terjadi infeksi), keputihan, impotensi pada pria, dan sulit orgasme pada wanita
o    Muskulo skeletal
Tonus otot menurun, penurunan kekuatan otot, ulkus pada kaki, reflek tendon menurun kesemuatan/rasa berat pada tungkai.
o    Integumen
Kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung, turgor jelek, pembesaran tiroid, demam, diaforesis (keringat banyak), kulit rusak, lesi/ulserasi/ulkus.
e.    Aspek psikososial
o    Stress, anxientas, depresi
o    Peka rangsangan
o    Tergantung pada orang lain
f.    Pemeriksaan diagnostik
o    Gula darah meningkat > 200 mg/dl
o    Aseton plasma (aseton) : positif secara mencolok
o    Osmolaritas serum : meningkat tapi < 330 m osm/lt
o    Gas darah arteri pH rendah dan penurunan HCO3 (asidosis metabolik)
o    Alkalosis respiratorik
o    Trombosit darah :  mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis, hemokonsentrasi, menunjukkan respon terhadap stress/infeksi.
o    Ureum/kreatinin : mungkin meningkat/normal lochidrasi/penurunan fungsi ginjal.
o    Amilase darah : mungkin meningkat > pankacatitis akut.
o    Insulin darah : mungkin menurun sampai tidak ada (pada tipe I), normal sampai meningkat pada tipe II yang mengindikasikan insufisiensi insulin.
o    Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
o    Urine : gula dan aseton positif, BJ dan osmolaritas mungkin meningkat.
o    Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih,  infeksi pada luka.
2. Diagnosa keperawatan
a.    Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotik, kehilangan gastrik berlebihan, masukan yang terbatas.
b.    Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak cukupan insulin penurunan masukan oral, status hipermetabolisme.
c.    Resti infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan sirkulasi.
d.    Resti perubahan sensori perseptual berhubungan dengan perubahan kimia endogen (ketidak seimbangan glukosa/insulin dan elektrolit.
e.    Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketergantungan pada orang lain, penyakit jangka panjang.
f.    Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi. (Doengoes, 2000)
C. Intervensi
1.    Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik, kehilangan gastrik berlebihan, masukan yang terbatas.
Data yang mungkin muncul :
Peningkatan haluaran urin, urine encer, haus, lemah, BB, kulit kering, turgor buruk.
Hasil yang diharapkan :
Tanda vital stabil, turgor kulit baik, haluaran urin normal, kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi    Rasional
Mandiri
1.    Pantau tanda vital    Hipovolemia dapat ditandai dengan hipotensi dan takikardi.
2.    Kaij suhu, warna kulit dan kelembaban.    Demam, kulit kemerahan, kering sebagai cerminan dari dehidrasi.
3.    Pantau masukan dan pengeluaran, catat bj urin    Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairanpengganti, fungsi ginjal dan keefektifan terapi.
4.    Ukur BB setiap hari    Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dan status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
5.    Pertahankan cairan  2500 cc/hari jika pemasukan secara oral sudah dapat diberikan.    Mempertahankan hidrasi/volume sirkulasi
6.    Tingkatkan lingkungan yang nyaman selimuti dengan selimut tipis    Menghindari pemanasan yang berlebihan pada pasien yang akan menimbulkan kehilangan cairan.
7.    Catat hal-hal yang dilaporkan seperti mual, nyeri abdomen, muntah, distensi lambung.    Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung, yang sering menimbulkan muntah sehingga terjadi kekurangan cairan atau elektrolit.
Kolaborasi
8.    Berikan terapi cairan sesuai indikasi
Tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respons pasien secara individual.
9.    Pasang selang NGT dan lakukan penghisapan sesuai dengan indikasi.    Mendekompresi lambung dan dapat menghilangkan muntah.
2.    Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak cukupan insulin, penurunan masukan oral, hipermetabolisme
Data : Masukan makanan tidak adekuat, anorexia, BB, kelemahan, kelelahan, tonus otot buruk, diare.
Kriteria Hasil : Mencerna jumlah nutrien yang tepat, menunjukkan tingkat energi biasanya, BB stabil/.
Intervensi    Rasional
Mandiri
1.    Timbang BB setiap hari    Mengkaji pemasukan makananyang adekuat (termasuk absorpsi).
2.    Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dihabiskan pasien.    Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan.
3.    Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri, abdomen, mual, muntah.    Hiperglikemi dapat menurunkan motilitas/ fungsi lambung (distensi atau ileus paralitik) yang akan mempengaruhi pilihan intervensi.
4.    Identifikasi makanan yang disukai.    Jika makanan yang disukai dapat dimasukkan dalam pencernaan makanan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang.
5.    Libatkan keluarga pada perencanaan makan sesuai indikasi.    Memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi pasien.
6.    Kolaborasi dengan ahli diet    Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan pasien.
3.    Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi lekosit/perubahan sirkulasi.
Data : -
Kriteria hasil : Infeksi tidak terjadi
Intervensi    Rasional
Mandiri
1.    Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan.    Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketuasidosis atau infeksi nasokomial.
2.    Tingkatkan upaya pencegahan dengan mencuci tangan bagi semua orang yang berhubungan dengan pasien, meskipun pasien itu sendiri.    Mencegah timbulnya infeksi nasokomial.
3.    Pertahankan teknik aseptik prosedur invasif.    Kadar glukosa tinggi akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman.
4.    Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sugguh, massage daerah yang tertekan. Jaga kulit tetap kering, linen tetap kering dan kencang.    Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan resiko terjadinya iritasi kulit dan infeksi.
5.    Bantu pasien melakukan oral higiene.    Menurunkan resiko terjadinya penyakit mulut.
6.    Anjurkan untuk makan dan minum adekuat.    Menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi.
7.    Kolaborasi tentang pemberian antibiotik yang sesuai    Penanganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis.
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, M.E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta : EGC.
Engram, B. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : EGC.
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Vol. 2. Jakarta : EGC.
Price. S.A. (1995). Patofisiologi, Edisi Kedua, Jakarta : EGC.
Jan Tambayong, dr. (2000). Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.

ASKEP GGK(GAGAL GINJAL KRONIS)

GAGAL GINJAL KRONIS
I. KONSEP GAGAL GINJAL KRONIS
A. DEFINISI
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min. (Suyono, et al, 2001)
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. (Smeltzer & Bare, 2001)
B. ETIOLOGI
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :
1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
4. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)
5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)
6. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
7. Nefropati toksik
8. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)
(Price & Wilson, 1994)
C. PATOFISIOLOGI & PATHWAYS
1. Patofisiologi
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR. Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR(Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :
a. Penurunan cadangan ginjal;
Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi
b. Insufisiensi ginjal;
Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa metabolic dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis
c. Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
d. Penyakit gagal ginjal stadium akhir;
Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubuluS. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal.
(Corwin, 1994)
2. Pathways (terlampir)
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Kardiovaskuler
Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
Edema periorbital
Friction rub pericardial
Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat
Kulit kering bersisik
Pruritus
Ekimosis
Kuku tipis dan rapuh
Rambut tipis dan kasar
 
3. Pulmoner
Krekels
Sputum kental dan liat
Nafas dangkal
Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
Anoreksia, mual, muntah, cegukan
Nafas berbau ammonia
Ulserasi dan perdarahan mulut
Konstipasi dan diare
Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
Tidak mampu konsentrasi
Kelemahan dan keletihan
Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran
Disorientasi
Kejang
Rasa panas pada telapak kaki
Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
Kram otot
Kekuatan otot hilang
Kelemahan pada tungkai
Fraktur tulang
Foot drop
2. Reproduktif
Amenore
Atrofi testekuler
(Smeltzer & Bare, 2001)

WOC




E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
o Laboratorium darah :
BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin)
o Pemeriksaan Urin
Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM, keton, SDP, TKK/CCT
2. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia)
3. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostate
4. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :
1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.
3. Dialisis
4. Transplantasi ginjal
(Reeves, Roux, Lockhart, 2001)
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang
(Smeltzer & Bare, 2001)
II. ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIS
B. PENGKAJIAN
1. Aktifitas dan Istirahat
Kelelahan, kelemahan, malaise, gangguan tidur
Kelemahan otot dan tonus, penurunan ROM
2. Sirkulasi
Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada
Peningkatan JVP, tachycardia, hipotensi orthostatic, friction rub
3. Integritas Ego
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan
Menolak, cemas, takut, marah, irritable
4. Eliminasi
Penurunan frekuensi urin, oliguri, anuri, perubahan warna urin, urin pekat warna merah/coklat, berawan, diare, konstipasi, abdomen kembung
5. Makanan/Cairan
Peningkatan BB karena edema, penurunan BB karena malnutrisi, anoreksia, mual, muntah, rasa logam pada mulut, asites
Penurunan otot, penurunan lemak subkutan
6. Neurosensori
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot, kejang, kebas, kesemutan
Gangguan status mental,penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, koma
7. Nyeri/Kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
Distraksi, gelisah
8. Pernafasan
Pernafasan Kussmaul (cepat dan dangkal), Paroksismal Nokturnal Dyspnea (+)
Batuk produkrif dengan frotty sputum bila terjadi edema pulmonal
9. Keamanan
Kulit gatal, infeksi berulang, pruritus, demam (sepsis dan dehidrasi), petekie, ekimosis, fraktur tulang, deposit fosfat kalsieum pada kulit, ROM terbatas
10. Seksualitas
Penurunan libido, amenore, infertilitas
11. Interaksi Sosial
Tidak mampu bekerja, tidak mampu menjalankan peran seperti biasanya
(Doengoes, 2000)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal
2. Resiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein, pembatasan diet, peningkatan metabolisme, anoreksi, mual, muntah
3. Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan berlebihan (fase diuretik)
4. Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan volume sirkulasi, ketidakseimbangan elektrolit
5. Intoleransi aktivitas b.d. penurunan produksi energi metabolic, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisa
6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d gangguan status metabolic, edema, kulit kering, pruritus
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d keterbatasan kognitif, kurang terpajan, misintepretasi informasi
C. INTERVENSI
1. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal
Tujuan : pasien menunjukkan pengeluaran urin tepat seimbang dengan pemasukan.
Kriteria Hasil :
• Hasil laboratorium mendekati normal
• BB stabil
• Tanda vital dalam batas normal
• Tidak ada edema
Intervensi :
a. Monitor denyut jantung, tekanan darah, CVP
b. Catat intake & output cairan, termasuk cairan tersembunyi seperti aditif antibiotic, ukur IWL
c. Awasi BJ urin
d. Batasi masukan cairan
e. Monitor rehidasi cairan dan berikan minuman bervariasi
f. Timbang BB tiap hari dengan alat dan pakaian yang sama
g. Kaji kulit,wajah, area tergantung untuk edema. Evaluasi derajat edema (skala +1 sampai +4)
h. Auskultasi paru dan bunyi jantung
i. Kaji tingkat kesadaran : selidiki perubahan mental, adanya gelisah
Kolaborasi :
i. Perbaiki penyebab, misalnya perbaiki perfusi ginjal, me ↑ COP
ii. Awasi Na dan Kreatinin Urine Na serum, Kalium serumHb/ Ht
iii. Rongent Dada
iv. Berikan Obat sesuai indikasi : Diuretik : Furosemid, Manitol; Antihipertensi : Klonidin, Metildopa
v. Masukkan/pertahankan kateter tak menetap sesuai indikasi
vi. Siapkan untuk dialisa sesuai indikasi
2. Resiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein, pembatasan diet, peningkatan metabolisme, anoreksi, mual, muntah
Tujuan : mempertahankan status nutrisi adekuat
Kriteria hasil : berat badan stabil, tidak ditemukan edema, albumin dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji status nutrisi
b. Kaji/catat pola dan pemasukan diet
c. Kaji factor yang berperan merubah masukan nutrisi : mual, anoreksia
d. Berikan makanan sedikit tapi sering, sajikan makanan kesukaan kecuali kontra indikasi
e. Lakukan perawatan mulut, berikan penyegar mulut
f. Timbang BB tiap hari
Kolaborasi ;
Awasi hasil laboratorium : BUN, Albumin serum, transferin, Na, K
Konsul ahli gizi untuk mengatur diet
 pekatØBerikan diet ↑ kalori, ↓ protein, hindari sumber gula
Batasi K, Na, dan Phospat
Berikan obat sesuai indikasi : sediaan besi; Kalsium; Vitamin D dan B kompleks; Antiemetik
3. Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan berlebihan (fase diuretik)
Hasil yang diharapkan : klien menunjukkan keseimbangan intake & output, turgor kulit baik, membrane mukosa lembab, nadi perifer teraba, BB dan TTV dalam batas normal, elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
a. Ukur intake & output cairan , hitung IWL yang akurat
b. Berikan cairan sesuai indikasi
c. Awasi tekanan darah, perubahan frekuansi jantung, perhatikan tanda-tanda dehidrasi
d. Kontrol suhu lingkungan
e. Awasi hasil Lab : elektrolit Na
4. Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan volume sirkulasi, ketidakseimbangan elektrolit
Tujuan : klien dapat mempertahankan curah jantung yang adekuat
Kriteria Hasil :
• TD dan HR dalam batas normal
• Nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi jantung, evaluasi adanya, dispnea, edema perifer/kongesti vaskuler
b. Kaji adanya hipertensi, awasi TD, perhatikan perubahan postural saat berbaring, duduk dan berdiri
c. Observasi EKG, frekuensi jantung
d. Kaji adanya nyeri dada, lokasi, radiasi, beratnya, apakah berkurang dengan inspirasi dalam dan posisi telentang
e. Evaluasi nadi perifer, pengisian kapiler, suhu, sensori dan mental
f. Observasi warna kulit, membrane mukosa dan dasar kuku
g. Kaji tingkat dan respon thdp aktivitas
h. Pertahankan tirah baring
Kolaborasi:
Awasi hasil laboratorium : Elektrolit (Na, K, Ca, Mg), BUN, creatinin
Berikan oksigen dan obat-obatan sesuai indikasi
Siapkan dialysis
5. Intoleransi aktivitas b.d. penurunan produksi energi metabolic, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisa
Tujuan : klien mampu berpartisipasi dalam aktifitas yang dapat ditoleransi
Intervensi ;
a. Kaji tingkat kelelahan, tidur , istirahat
b. Kaji kemampuan toleransi aktivitas
c. Identifikasi faktor yang menimbulkan keletihan
d. Rencanakan periode istirahat adekuat
e. Berikan bantuan ADL dan ambulasi
f. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, anjurkan aktifitas alternative sambil istirahat
6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d gangguan status metabolic, edema, kulit kering, pruritus
Hasil yang diharapkan : kulit hangat, utuh, turgor baik, tidak ada lesi
Intervensi :
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, ekimosis, kerusakan, suhu
b. Pantau intake & output cairan, hidrasi kulit dan membrane mukosa
c. Jaga kulit tetep kering dan bersih
d. Ubah posisi tidur dengan sering, beri bantalan pada penonjolan tulang
e. Beri perawatan kulit, batasi sabun, olesi lotion, salep, krim; tangani area edema dengan hati-hati
f. Pertahankan linen kering dan kencang
g. Anjurkan menggunakan kompres lembab dan dingin pada area pruritus
h. Anjurkan menggunakan bahan katun, Berikan kasur dekubitus
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d keterbatasan kognitif, kurang terpajan, misintepretasi informasi
Tujuan : klien menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan pengobatan, melakukan dengan benar prosedur yang perlu, perubahan perilaku hidup
Intervensi :
a. Kaji ulang pengetahuan klien tentang proses penyakit/prognosa
b. Kaji ulang pembatasan diet ; fosfat dan Mg
c. Diskusi masalah nutrisi/diet tinggi karbohidrat, Rendah protein, rendah natrium sesuai indikasi
d. Diskusikan terapi obat, nama obat, dosis, jadwal, manfat dan efek samping
e. Diskusikan tentang pembatasan cairan
f. Kaji ulang tindakan mencegah perdarahan : sikat gigi halus
g. Buat program latihan rutin, kemampuan dalam toleransi aktivitas
h. Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik segera :
Demam, menggigil, perubahan urin/ sputum, edema,ulkus,kebas,spasme pembengkakan sendi, pe↓ ROM, sakit kepala, penglihatan kabur, edema periorbital/sacral, mata merah